Sistem Kesehatan Indonesia

looking health as a part of a system..

Thursday, November 18, 2010

Stigma, Gangguan Jiwa, dan Gila

Seorang wanita paruh baya datang dengan tergesa-gesa ke sebuah Puskesmas X, didampingi oleh seorang wanita yang lebih muda. Pada kepala wanita itu, tampak luka perban lusuh yang tertutup rambut yang awut-awutan. Pakaiannya pun kucel, kotor, dan sedikit aneh. Dari penjelasan pengantar, ternyata wanita itu, berniat membuka perban dan jahitan di kepalanya. Perawat yang bertugas pun menyiapkan alat-alat. Selama menunggu peralatan siap, anamnesis dilakukan, dan wanita itu pun tidak merespon pertanyaan yang diajukan. Tidak nyambung. Jawaban-jawabannya hanya berupa kalimat gumaman panjang, tidak jelas, dan sulit ditangkap artinya. Saat dokter senior datang, didapatkan informasi bahwa ternyata wanita ini menderita gangguan jiwa. Luka di kepalanya, adalah luka bacok yang didapatnya dari saudara laki-lakinya yang tinggal serumah, ketika wanita itu mengamuk. Wanita pengantar tadi hanyalah tetangga yang berbelas kasihan. Tak lama kemudian, peralatan siap. Jahitan di kepalanya dilepas, perban diganti. Wanita itu pun pulang dengan membawa selembar resep yang hanya bertuliskan “obat penghilang rasa nyeri (analgesic)” untuk bekas jahitannya.

Cerita ini adalah kutipan pengalaman saya ketika berkesempatan berjaga disebuah puskesmas dan bertemu dengan seseorang dengan Gangguan Mental. Pertanyaan yang waktu itu muncul di kepala saya adalah “Mengapa seolah tidak ada yang bisa lakukan Puskesmas terhadap Gangguan Mental yang diderita pasien?”. Kalau Puskesmas saja,sebagai garda terdepan, Unit pelaksana teknis paling perifer dan dekat denga masyarakat sudah mampu mengenali tapi tidak mampu melakukan intervensi untuk mengurangi gangguan pasien

Di Indonesia, terbatasnya tenaga kesehatan di Mental Health Provider menjadi kendala utama. Hal ini sangat kontras dengan kondisi Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia yang bisa dibilang ‘buruk’. Bayangkan saja Indonesia menduduki rangking 112 dari 120 negara.Belum lagi, stigma masyarakat yang selalu mengidentikkan gangguan mental dengan GILA, membuat mereka enggan untuk mengutarakan keluhan yang berkaitan dengan mental. Padahal gangguan mental minor dapat berupa gangguan cemas, depresi, atau berupa keluhan fisik.

WHO, sebenarnya sudah mengeluarkan rekomendasi untuk negara dengan sumber daya Mental Health Provider yang rendah, yaitu dengan mengintergrasikan pelayanan kesehatan mental pada pelayanan kesehatan umum di pelayanan kesehatan primer yang sudah tersedia bahkan didaerah paling terpencil sekalipun. Artinya diintegrasikan di setiap Puskesmas yang ada. Idealnya rekomendasi ini diwujudkan dengan memberikan pelatihan kepada dokter dan tenaga kesehatan yang ada di puskesmas. Agar berkelanjutan hendaknya ada pengawasan dan follow up dari Mental Health Provider yang ada (psikolog,psikiater,mental hospital). Pengawasan ini juga bertujuan agar apabila ada kasus-kasus gangguan mental yang berat dapat langsung diarahkan dan dirujuk. Koordinasi juga harus dilakukan dengan baik oleh Dinas Kesehatan agar penyediaan obat yang berkaitan dengan kesehatan mental dapat berjalan.

Apabila rekomendasi WHO ini dapat diadaptasi dengan baik, dokter di Puskesmas akan lebih jeli dalam melakukan deteksi awal, memberikan treatment, dan konseling terhadap pasien dengan gangguan mental yang ringan. Stigma masyarakat pun bisa diatasi karena pasien tidak perlu datang ke Dokter Jiwa yang membuat mereka dicap “ORANG GILA”. Pelayanan kesehatan di Puskesmas pun menjadi lebih menyeluruh,FISIK dan MENTAL..

0 comments:

Post a Comment