Sistem Kesehatan Indonesia

looking health as a part of a system..

Sunday, October 31, 2010

ANTARA MERAPI, EVAKUASI, DAN TRADISI

Gunung Merapi akhirnya kembali meletus pada tahun 2010 ini. Meletusnya gunung ini, bukannya tanpa peringatan. Frekuensi gempa vulkanik yang meningkat tajam sudah menjadi peringatan akan bergolaknya kembali aktifitas Merapi. Tanda alam ini juga sudah ditangkap oleh BPPPK (Badan Penyelidikan dan Pengembangan Kegunungapian), pihak yang paling berwenang mengeluarkan informasi mengenai status gunung Merapi. Pada tanggal 24 September 2010, status Merapi mulai meningkat menjadi Waspada. Status Gunung Merapi kemudian meningkatdari Waspada, Siaga, Awas hingga akhirnya meletus pada tanggal 26 Oktober 2010. Tenggang waktu sebulan,rupanya tidak cukup untuk mengevakuasi warga hingga 33 warga tewas menjadi korban. Satu nyawa rasanya sudah terlalu banyak untuk suatu bencana yang seharusnya bisa diantisipasi.

 






Kearifan lokal masyarakat lereng Merapi membawa pengaruh besar terhadap
keberhasilan evakusasi warga. Dusun Kinahrejo yang berjarak 4 km, menjadi wilayah yang paling memakan banyak korban. Dusun tempat bernaung Mbah Maridjan. Ya, Sosok yang dikenal sebagai juru kunci Merapi. Penolakan ini serupa dengan yang terjadi pada tahun 2006. Inilah salah satu alasan warga menolak mengungsi. Pemerintah seharusnya bersikap lebih tegas namun tetap menghormati budaya setempat. Misalnya dengan, melakukan pendekatan langsung kepada Mbah Maridjan, agar membujuk warganya untuk bisa turun dan Evakuasi Paksa oleh militer menjadi pilihan sejak awal ketika diplomasi ini mengalami kebuntuan. Memastikan tidak ada warga yang tertinggal dengan alasan apapun sudah menjadi kewajiban pemerintah.

Alasan lain warga menolak turun adalah karena mereka enggan meninggalkan ternak, rumah, dan harta benda. Memang sepele, tapi bagi warga lereng Merapi ternak adalah sumber kehidupan. Evakuasi ternak warga hendaknya bisa menjadi solusi. Memindahkan ternak warga ke lokasi aman, sehingga warga tetap bisa memberi makan ternak tanpa mempertaruhkan nyawa. Daerah yang sudah disterilkan ini juga seharunya dijaga oleh militer, sehingga warga tidak dapat dengan mudah keluar-masuk ketika situasi masih berbahaya. Dengan begitu harta benda warga yang masih tersisa juga dapat dijamin keamannya

Memperbaiki posko pengungsian yang ada merupakan cara lain untuk membujuk warga meninggalkan rumah. Selama ini warga enggan mengungsi salah satunya adalah susahnya pemenuhan kebutuhan dasar. Misalnya saja di posko Pengungsian Wonokerto yang mengambil tempat di SD Jambusari. Air di kamar mandi mati. Sehingga warga harus mengangkut air dari keran untuk dapat mandi. Akhirnya,sebagian besar warga pengungsi disini biasanya kembali ke rumah pada pagi hari untuk sekadar mandi . Padahal tindakan ini sangat berbahaya.Walaupun keadaan di pengungsian tidak akan pernah menyamai nyamannya tinggal di rumah sendiri. Namun apabila pemenuhan kebutuhan dasar warga tidak menjadi kendala. Maka warga akan lebih betah berada di pengungisan.







Tuesday, October 26, 2010

DECENTRALISATION, A Solution With A Problem to Solve

Desentralisasi adalah suatu pendekatan yang digunakan atas gambaran ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah pusat. Era demokrasi memunculkan kebebasan semua orang untuk bersuara dan pada akhirnya mendorong daerah memiliki keberanian menuntut hak untuk ‘mengurus dirinya sendiri’. Kebijakan desentralisasi diperkenalkan pada tahun 1999 melalui UU No.22/1999 dan UU 25/1999. Desentralisasi tidak berarti menyerahkan semua urusan pemerintahan pusat ke pemerintah daerah. Urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustis, moneter dan fiskal nasional serta agama masih menjadi kewenangan pusat. Sedangkan diluar hal tersebut kewenangan dipindahalihkan ke pemerintah daerah termasuk dari sektor kesehatan.

 Berdasarkan PP 38 tahun 2007, sektor kesehatan adalah urusan wajib yang berada dibawah kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota. Pedoman pelaksanaannya berada dibawah Kementrian non Departemen yang ditetapkan melalui norma,standar,prosedur, dan kriteria yang wajib dipatuhi oleh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota. Desentralisasi dimaksudkan mendekatkan penyelerenggara urusan pemerintah terhadap akar permasalahan di perifer memunculkan masalah dan kelemahan baru sebagai tantangan untuk dipecahkan.

Perwujudan demokrasi dalam desentralisasi ini memberikan tantangan besar ketika tidak semua pemerintah daerah memiliki kapasitas,kemampuan,sumber dana, maupun sumber daya yang memadai untuk mengelola kesehatan di daerahnya. Perkembangan ekonomi yang sejak awal tidak merata membawa permasalahan bagi pembangunan kesehatan pada masing-masing daerah. Belum lagi segi ekonomi ini akan erat kaitannya dengan persebaran tenaga kesehatan di daerah-daerah. Daerah yang kaya akan memiliki banyak ruang untuk mengembangkan pelayanan kesehatan tapi tidak bagi daerah dengan jumlah APBD yang minim. Subsidi silang, yaitu mengalokasikan sejumlah dana yang bersumber dari APBD berlebih ke APBD yang minim, bisa dipikirkan menjadi solusi. Jangan sampai desentralisasi yang dimaksudkan menciptakan pemerataan pembangunan justru memperbesar gap antar daerah dan provinsi di Indonesia.


Persebaran tenaga kesehatan yang tidak merata pada daerah-daerah terpencil dan tertinggal menjadi tantangan lain untuk dipecahkan. Pemerintah daerah hendaknya menciptakan solusi untuk menarik para tenaga medis untuk datang ke daerahnya. Alangkah lebih baik jika perekrutan ini dimulai dari bagian paling dasar yaitu tingkat pendidikan. Misalnya dengan memberikan beasiswa, dengan persyaratan bersedia mengabdi di suatu daerah tertentu. Apabila
persyaratan ini tidak dipenuhi maka penerima beasiswa harus membayar sanksi. Selain itu pemerintah daerah, juga hendaknya mempermudah akses ’peng-update-an ilmu’ bagi mereka yang ditugaskan di daerah sehingga kesan dokter daerah akan tertinggal dalam hal pengetahuan dapat dihapuskan.